Selasa dini hari, jarum menunjukkan pukul 00.42 waktu sungailiat. Tapi mata ini terasa masih begitu bugar seperti saat pagi hari. Sore tadi aku baru pulang dari Pangkalpinang untuk melihat kondisi lapangan setelah ada hujan yang disertai angin ribut. Untuk kesekian kalinya, 'kami' seperti tengah diuji. Untuk kesekian kalinya cobaan datang menghadang.
Simbok bilang, apa yang kita lakukan hanyalah sekedar mengurai makna. Apapun yang kita kerjakan, bukanlah untuk pekerjaan itu sendiri. Kita bekerja bukan untuk mencari kesibukan. Kita bekerja juga bukan untuk sekedar memperoleh upah. Keringat dan peluh merupakan keniscayaan yang mesti kita keluarkan agar kita bisa tetap hidup. Seperti layaknya embun yang muncul di pagi hari, atau rontoknya daun kering dari dahan pohon.
Simbah juga mengingatkan, hidup bukan ditentukan oleh keinginan dan hawa nafsu kita. Makin besar keinginan dan subyektif kita untuk merengkuhnya, akan justru makin menjauhkan kita dari hakiki dan fitrah yang akan dianugerahkan-Nya kepada kita.
Tapi kadang simbok dan simbah ini tidak fair : kataku. Sekarang ini kan jaman modern, orde reformasi, era digital, masa telematika. Ini jaman kemajuan teknologi yang dicirikan dengan aktifitas dan dinamika yang begitu cepat, baru, dan beragam. Ini era megatrend. Alvin Toffler aja bilang kalau kita tidak mampu menyesuaikan dengan jaman ini maka kita bukan saja akan mengalami culture shock tapi lebih hebat lagi akan menderita future shock. Mana ada kesempatan untuk berdiam diri atau sekedar merenung ?
Ketika tulisan ini kubuat, di tengah malam menjelang pagi, teman-teman lagi asyik makan di ruang sebelah. Rupanya ada yang baru dapat rejeki sehingga membelikan makan dan minum kopi buat temen-temen yang lain. Tiba-tiba perasaanku kok serasa di jogja ya..... kalau malam-malam perut keroncongan tinggal nyari makan di warung yang banyak masih buka hingga pagi hari....dari kawasan bulaksumur, sangaji, malioboro hingga pojok-pojok kampung. Saat tengah malam nongkrong di warung koboy ngobrol bareng temen-teman sambil nyruput kopi jos. Ya, kopi yang dicelup arang panas sehingga berbunyi 'jooosss'. Ehmm nikmatnya...
Namun Sungailiat memang beda dengan jogja. Jogja juga tidak sama dengan bangka. Namun antara jogja dan bangka seakan menyiratkan nuansa yang serupa. Namun aku tidak tahu apakah itu. Yang jelas, aku hanya merasakan adanya sebuah spirit yang sama : semangat mencari inti dibalik realitas. Yang tampak tidak selalu sama dengan yang dimaksud. Yang dimaui tidak selalu seperti yang dihasilkan. Yang dikejar tidak selalu memberikan apa yang diharapkan.... mungkinkah saatnya hati yang bicara ? (*)