Label
- Anak Pemalu (1)
- Cermin Lorong (1)
- Humor Radio (1)
- Humor Sufi (3)
- Inspiring Family (1)
- Inspiring Live (1)
- Inspiring Love (1)
- Inspiring Love2 (1)
- Kopi Josss (1)
- Kreativitas Anak (1)
Membaca Cermin Lorong
07 Mei 2009Tanggal 7 mei 2009 seakan berlalu seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Namun saat itu ternyata menjadi catatan dalam sejarahku bahwa sudah hampir 2 tahun tapak kakiku membekas di bumi serumpun sebalai, khususnya lagi di tanah sepintu sedulang. Bumi laskar pelangi tak seramai waktu aku berkesempatan melakukan ritus menjangkau seberang lautan. Ada bayang getar saat itu. Tempat seperti apakah itu ? Apakah serupa atau malah berbeda dengan bumi sangatta saat 1993 lalu ? Tak ada yang menarik, sampai akhirnya ku iyakan keputusanku setelah menimbang sambil lalu layaknya menghitung kancing-kancing baju.
Bulan-bulan pertama berlalu seperti di tengah belantara. Tanpa bekal dan tanpa bedil kulalui lorong waktu itu hanya dengan berbekal keikhlasan, keyakinan dan tentunya pengalaman. Beda pendapat itu wajar dalam demokrasi, begitu kata orang bijaksana. Beda pandangan itu juga lumrah untuk menemukan kesepakatan, begitu kata orang bijaksini. Tapi ketika perbedaan itu melahirkan kasak-kusuk, desas-desus, gosip sana-gosip sini apakah itu juga bagian dari 'proses' ? Ketika intrik dan backingan dimunculkan untuk membenarkan perlawanan, apakah itu juga bagian menuju 'kebenaran'? Ketika kesepakatan untuk tidak sepakat terjadi, apakah itu juga bagian dari upaya meraih kompromi ? Atau ketika aku 'dipaksa' untuk hadir di gedung dewan dan menghadapi semuanya sendirian, apakah itu juga bagian 'grand strategi' untuk membuktikan kapabilitasku?
Membaca cermin lorong itu membersitkan sejuta tanya yang hingga kini belum juga menemukan jawaban. Jangankan jawaban, sesosok wujudpun kadang membayang dan kadang kembali lenyap sebelum terlihat. Apa sih yang sebenarnya sudah kulakukan ???!
Bulan-bulan berikutnyapun tak banyak berbeda, meski dalam dimensi yang agak lain. Selain variabelnya lebih beragam karena banyak teman baru, pada bulan-bulan di tahun kedua terasa lebih soft meski masih dalam tataran yang sama, yaitu menerobos hutan belantara hanya dengan berbekal keikhlasan, keyakinan, dan sekedar pengalaman.
Sebenarnya track sistem yang terbangun sudah menuju grafik statistik yang sempurna. Hari ini memang terasa lebih baik dari kemarin, dan hari esok sudah terencana lebih baik dari hari ini. Namun kompleksitas benturan psikologis yang terjadi justru terasa terlalu lembut. Akibatnya, tidak mudah untuk mencari solusi yang efektif untuk mengantisipasi dan mengatasinya. Aku pun tak bisa menantang secara jantan layaknya laki-laki. Tak bisa berterus terang untuk mengungkapkannya karena takut salah sasaran. Juga gak bisa membuat rambu-rambu untuk 'menangkapnya'. Terlalu absurd...
Membaca cermin lorong itu membersitkan sejuta tanya yang hingga kini belum juga menemukan jawaban. Jangankan jawaban, sesosok wujudpun kadang membayang dan kadang kembali lenyap sebelum terlihat. Apa sih yang sebenarnya sudah kudapatkan ???!
Kataku : hidup itu kan proses, jalani saja proses itu untuk mendapatkan hikmah ! Tapi sampai kapan proses itu berlangsung ? begitu katanya. Iya ya, betul juga kata dia....Eh tapi kan ini belum kiamat sugro, apalagi kiamat kubro (ketika matahari terbit bukan dari timur tapi dari barat dan ketika berbagai musibah dan bencana mengakhiri proses hidup manusia).
Namun sebagai proses, sampai kapan benturan dan 'kecurigaan' akan berlangsung ? Sampai kapan pula daya tahan kita mampu menjalani proses itu ? Akankah hati kita akan tersenyum ? Tersenyum menyaksikan buah peluh, nafas dan kreatifitas kita......... Aku hanya berharap untuk tidak sekedar menjadi the last samurai, yang hanya menyisakan the last spirit. (*)
Diposting oleh chiccc di 00.31
Label: Cermin Lorong
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar